First Impression Diablo 4: Mudah Sekali Ketagihan dengan Game Ini

Presentasi yang memukau dipadukan dengan gameplay loop yang adiktif membuat Diablo 4 mampu menyita banyak waktu luang

Akhirnya, setelah 11 tahun, ada game Diablo baru yang bisa dimainkan. Blizzard resmi merilis Diablo 4 pada 5 Juni kemarin, sekitar empat tahun semenjak mengumumkannya pertama kali di event BlizzCon 2019.

Diablo 4 adalah penerus langsung dari Diablo 3. Baik dari segi cerita maupun gameplay, Diablo 4 benar-benar melanjutkan apa yang dimulai oleh Diablo 3, tidak seperti Diablo Immortal yang bisa dibilang merupakan proyek sampingan Blizzard dengan NetEase untuk audiens yang sangat berbeda. Karena bukan side project, pengerjaannya pun betul-betul dilakukan sepenuh hati.

Kira-kira begitulah kesan awal yang saya dapatkan saat pertama memainkan Diablo 4. Game ini sangatlah masif, dan fakta bahwa Blizzard menggarapnya sebagai sebuah live service game hanya akan semakin menguatkan kesan masif tersebut, sebab kontennya tentu akan terus bertambah seiring berjalannya waktu.

Pada kenyataannya, di versi awal yang dirilis sekarang, Diablo 4 sudah terasa begitu besar. Konten yang tersaji luar biasa banyak, dan selama sekitar 10 jam pertama saya memainkannya, sepertinya saya bahkan belum merasakan 10 persen dari apa yang Diablo 4 bawa sepenuhnya.

Singkat cerita, membuat ulasan lengkap atas game dengan konten sekaya ini tampaknya mustahil dilakukan dalam waktu kurang dari satu minggu semenjak perilisan. Maka dari itu, dalam kesempatan ini, izinkan saya setidaknya memberikan first impression saya terhadap Diablo 4.

Presentasi yang mengesankan

Sejak game pertamanya dirilis di tahun 1997, seri Diablo selalu hadir mengusung setting dark fantasy yang begitu kelam. Diablo 4 tentu masih mempertahankan setting yang sama, malahan yang terasa lebih kelam lagi dari sebelumnya. Terkadang, atmosfer yang ditimbulkan malah bisa menjurus ke ranah horor.

Bahkan dari cutscene sinematik pertamanya pun perasaan ini sudah begitu melekat di benak saya. Memang tidak sampai merasa merinding seperti ketika memainkan game horor, namun tetap cukup menegangkan untuk sebuah RPG.

Tentu saja, perasaan ini bisa jadi saya dapatkan karena begitu kontrasnya art style Diablo 4 dengan Diablo 3. Pasalnya, jika dibandingkan dengan dua game sebelumnya, Diablo 3 terasa agak terlalu berwarna. Sepintas, game itu mungkin lebih cocok masuk franchise Warcraft ketimbang Diablo. Jadi ketika disuguhi nuansa grimdark gothic yang begitu mencekam di Diablo 4, saya pun langsung semangat.

Secara visual — terlepas dari betapa mencekamnya atmosfer yang tersaji — Diablo 4 merupakan game yang sangat indah. Desain karakter-karakternya tampak begitu mendetail, demikian pula setiap environment yang karakter saya lalui, yang selalu dibanjiri dengan tekstur-tekstur yang menarik untuk diamati.

Saat tiba di kota pertama yang bernama Kyovashad, saya menghabiskan waktu sekitar setengah jam sendiri untuk sebatas keliling dan melihat-lihat isi kota tersebut. Action RPG memang bukanlah genre game yang biasa dinilai dari kualitas grafiknya, namun harus diakui bahwa Diablo 4 benar-benar unggul perihal ini.

Nuansa kelam ini terasa semakin mengena ketika dipadukan dengan soundtrack-nya. Musik yang mengalun saat berada di kota Kyovashad terdengar begitu sendu, kurang lebih mirip seperti soundtrack di game Frostpunk. Baik Diablo 4 maupun Frostpunk sama-sama menceritakan tentang masa-masa putus asa umat manusia, dan keduanya pun sama-sama memiliki soundtrack yang bisa mengamplifikasi rasa sendu tersebut.

Bicara soal audio, saya harus menekankan mengenai aspek sound design dalam game ini. Spoiler: sound design di Diablo 4 benar-benar juara, baik untuk voice acting maupun efek-efek suara lainnya.

Saya memilih class Barbarian sebagai karakter pertama saya, dan saya pun langsung dibuat terbuai oleh setiap suara gebukan yang dilancarkannya ke musuh. Skill demi skill saya coba satu demi satu hanya untuk mendengarkan sound effect-nya, dan kebetulan animasinya pun juga sangat bagus.

Diablo 4 memiliki pengisi suara yang berbeda untuk setiap class, yang kemudian dibagi lagi berdasarkan jenis kelamin karakter. Sama seperti kualitas grafik, voice acting mungkin bukanlah hal pertama yang dicari dari sebuah action RPG. Namun elemen ini menjadi penting di Diablo 4 karena karakter kita memang akan terlibat dalam dialog dengan NPC dari waktu ke waktu.

Gameplay loop yang adiktif

Namun cukup soal presentasi, sebab yang selalu dicari dari sebuah action RPG adalah gameplay loop-nya yang adiktif: basmi musuh, kumpulkan loot, ulangi lagi dengan musuh dan loot yang lebih kuat. Seri game Diablo sama sekali tidak pernah mengecewakan soal ini — bahkan Diablo Immortal pun juga demikian. Di Diablo 4, lagi-lagi impresinya pun sama persis.

Bereskperimen dengan berbagai macam build karakter juga semakin menambah keasyikan bermain. Sejauh yang saya rasakan, Diablo 4 cukup memberikan kebebasan bagi pemain untuk meracik sendiri build karakter kesukaannya.

Seusai mempelajari skill tree Barbarian secara sepintas, saya langsung memantapkan diri untuk meracik build yang banyak mengandalkan efek stun. Kemudian saat berhadapan dengan boss di dungeon pertama yang saya kunjungi, saya langsung menyesali keputusan tersebut. Pasalnya, musuh jenis boss tidak mengenal efek stun seperti musuh biasa, melainkan efek stagger yang pada dasarnya lebih sulit untuk direalisasikan.

Tanpa harus keluar dari dungeon, saya pun langsung meracik ulang build Barbarian saya. Biaya yang harus saya keluarkan untuk respec ini tidak begitu mahal, namun bisa jadi karena level karakter saya yang masih tergolong cupu di angka 20-an. Singkat cerita, saya memilih build baru yang lebih banyak mengandalkan efek bleed, dan sesuai harapan, boss-nya pun akhirnya tumbang.

Always online, always anxious

Ada cerita yang agak mengesalkan dari pengalaman pertama saya menyelesaikan dungeon di Diablo 4. Saat bertemu boss-nya pertama kali, ping saya tiba-tiba naik ke angka 1.000-an milidetik sebelum akhirnya saya terputus dari server. Dari situ saya langsung teringat bahwa Diablo 4 adalah game yang harus selalu online.

Saat berhasil login kembali, karakter saya sudah otomatis tertendang dari dungeon. Cukup menyebalkan mengingat saya harus melawan ulang boss-nya, yang kebetulan cukup sulit untuk dikalahkan. Sejak saat itu, saya sering merasa deg-degan ketika berada di dalam dungeon. Deg-degan bukan karena atmosfer dungeon-nya yang menyeramkan, melainkan karena takut tiba-tiba koneksi internet saya kumat.

Perlu dicatat, ini sama sekali bukan problem dari game-nya, melainkan dari saya sendiri sebagai pengguna. Namun tetap saja, hati kecil saya selalu mendambakan adanya mode offline di Diablo 4, yang tentunya bisa sangat membantu pemain yang koneksi internetnya kurang reliabel seperti saya.

Di luar itu, Diablo 4 masih bisa memberikan banyak alasan untuk mengundang saya kembali bermain setiap harinya. Nantikan pembahasan lebih lengkapnya dalam artikel full review-nya nanti.