Esports Tourism: Bagaimana Game dan Esports Bisa Memajukan Pariwisata

Kompetisi esports bisa mendatangkan wisatawan ke kota tuan rumah.

Valve menyediakan 26,8 ribu tiket untuk The International 2019. Dan tiket tersebut terjual habis dalam waktu kurang dari satu menit. Hal ini menunjukkan, walau kompetisi esports bisa ditonton melalui platform streaming secara gratis, sebagian fans tetap punya minat tinggi untuk menonton kompetisi esports secara langsung. Pemerintah Indonesia melihat fenomena ini sebagai kesempatan untuk memulihkan sektor pariwisata, yang terpuruk karena pandemi COVID-19. Karena itulah, mereka hendak menggenjot sports tourism.

Apa Itu Sports Tourism dan Apa yang Sudah Pemerintah Lakukan?

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengartikan sports tourism sebagai kegiatan wisata yang digabung dengan olahraga. Sementara United Nation World Tourism Organization (UNWTO) mengatakan, ada kaitan erat antara olahraga dengan industri pariwisata. Karena, keduanya bisa mendorong jutaan orang untuk berpergian, baik untuk mengunjungi sebuah atraksi wisata atau untuk menonton kompetisi olahraga. UNWTO bahkan menyebutkan, sports tourism merupakan salah satu sektor pariwisata dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi.

Di Indonesia, Kemenparekraf mengungkap, potensi nilai sektor sports tourism mencapai Rp18.790 triliun. Sejak lama, Indonesia memang punya beberapa kegiatan olahraga yang menjadi atraksi wisata, seperti lompat batu di Nias. Sekarang, pemerintah ingin mendorong sports tourism untuk menghidupkan kembali industri pariwisata.

Salah satu ajang olahraga tingkat dunia yang digelar di Indonesia belum lama ini adalah World Superbike. Kompetisi balap motor itu diadakan di Mandalika International Street Circuit. Menurut Direktur Operasi & Inovasi Bisnis, Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), Arie Prasetyo, keuntungan yang didapat dari penyelenggaraan balapan tingkat dunia di sirkuit Mandalika bisa mencapai Rp500 miliar. Keuntungan itu didapat dari penjualan tiket, merchandise, reservasi hotel, serta kuliner.

"Kami melakukan studi bahwa dampak pelaksanaan event itu membawa pertumbuhan ekonomi hingga Rp500 miliar di setiap gelaran event. Dari pembelian tiket, belanja, hotel, membeli merchandise, makan minuman, dan sebagainya," kata Arie, dikutip dari Medcom.id.

Selain itu, pemerintah juga menggelar babak final dari Piala Presiden Esports (PPE) 2021 di Bali. Harapannya, hal ini akan meningkatkan jumlah wisatawan yang pergi ke Bali. Setidaknya, Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan Baparekraf, Rizki Handayani Mustafa mengatakan, Bali akan dikunjungi oleh pemain, penyelenggara, dan penonton dari PPE 2021.

Perempuan yang akrab dengan panggilan Kiki itu mengatakan, memang, biasanya, pihak penyelenggara atau atlet akan langsung pulang setelah acara berakhir. Namun, pemerintah bisa bekerja sama dengan biro perjalanan untuk menyediakan paket perjalanan yang membuat para pengunjung tinggal di Bali lebih lama. Hal ini diharapkan akan meningkatkan konsumsi layanan pariwisata, seperti hotel dan kuliner.

Cokorda Raka Satrya Wibawa, Kepala Seksi Peningkatan Prestasi Olahraga, Pemerintah Provinsi Bali bercerita, dampak pandemi pada sektor pariwisata di Bali memang luar biasa. Sekitar 90% industri pariwisata di Bali terkena dampak pandemi, yang membuat kegiatan pariwisata menjadi jauh berkurang. Dengan adanya acara olahraga -- termasuk Piala Presiden Esports -- dia berharap, industri pariwisata di Bali akan bisa hidup kembali.

Sementara itu, Mamit Hussein, Assistant Vice President of Business Innovation, Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) merasa, esports punya potensi untuk menjadi bagian dari sports tourism. Pasalnya, jumlah penonton esports saat ini sudah mencapai ratusan juta orang. Dan angka itu masih akan terus naik. Di dunia, jumlah penonton esports diperkirakan mencapai 472 juta orang. Sementara di Asia Tenggara, Niko Partners memperkirakan, jumlah penonton esports mencapai sekitar 100 juta orang.

Pemerintah memang menggelar babak final PPE 2021 di Bali dengan tujuan untuk membuat industri pariwisata kembali bergeliat. Namun, Sekretaris Jenderal Piala Presiden Esports 2021, Matthew Airlangga memastikan bahwa mereka akan tetap menekankan protokol kesehatan. Dia menyebutkan, sistem bubble akan digunakan selama PPE 2021 berlangsung.

"Sampai pertandingan selesai, kami juga akan memastikan bahwa atlet dan semua pihak yang terlibat sudah mendapatkan vaksin," ujar Matthew. "Sebagi bagian dari sistem bubble, kami juga akan mengadakan rapid test berkala secara rutin di semua lokasi. Semua pihak yang sudah masuk ke lokasi tidak akan bisa keluar-masuk sampai pertandingan berakhir."

Potensi Pemasukan dari Esports/Game Tourism

Kompetisi olahraga -- dalam kasus ini, turnamen esports -- terbukti bisa mengundang wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Pertanyaannya, berapa besar dampak ekonomi yang didapat oleh sebuah kota jika ia menjadi tuan rumah dari kompetisi esports?

Menurut data dari agensi media dan esports Big Block, turnamen Rainbow Six, Major Raleigh, memberikan dampak ekonomi langsung sebesar US$1,45 juta (sekitar Rp20,9 miliar) ke Raleigh, ibukota dari negara bagian North Carolina di Amerika Serikat. Dari segi jumlah wisatawan, Major Raleigh berhasil mendatangkan sekitar 2,6 ribu orang per hari. Sekitar 70% dari seluruh pengunjung berasal dari luar North Carolina atau bahkan dari luar Amerika Serikat. Padahal, turnamen Major Raleigh hanya diadakan secara offline selama 3 hari, yaitu 16-18 Agustus 2019 di Raleigh Convention Center.

Data tentang pengaruh dari Raleigh Major. | Sumber: The Esports Observer

Mari kita mengambil contoh lain. League of Legends European Championship (LEC) Finals diadakan di Rotterdam, Belanda pada Juli 2019. Walau hanya diadakan selama 2 hari, LEC Finals berhasil memberikan kontribusi sebesar EUR2,4 juta (sekitar Rp38,8 miliar) ke ekonomi lokal Rotterdam, menurut Riot Games. Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Riot, sebanyak 87,13% dari pengunjung yang datang untuk menonton LEC merupakan pengunjung dari luar Rotterdam. Setiap harinya, para pengunjung menghabiskan biaya rata-rata sekitar EUR52,6 (sekitar Rp850 ribu).

Semakin besar sebuah turnamen esports, semakin besar pula dampak ekonomi yang ia berikan. Ketika The International 8 digelar di Rogers Arena, Vancouver, Kanada selama 6 hari, kompetisi itu memberikan dampak ekonomi langsung sebesar CA$7,8 juta (sekitar Rp87 miliar), menurut perkiraan dari Tourism Vancouver. Penjualan tiket menjadi salah satu sumber pemasukan dari TI8. Untuk hari kerja, harga tiket dari TI8 diharga CA$75 (sekitar Rp837 ribu). Sementara tiket untuk menonton babak final di akhir pekan diharga CA$280 (sekitar Rp3,1 juta).

Jeff Lockwood, Assistant Manager, The Pint, salah satu bar yang terletak tidak jauh dari Rogers Arena mengatakan bahwa pihak event organizers sempat menghubungi The Pint untuk menyewa bar tersebut selama satu minggu. Pada akhirnya, keduanya setuju untuk menayangkan The International di bar tersebut. Lockwood mengatakan, kedatangan para fans Dota 2 membuat The Pint menjadi lebih sibuk dari biasanya.

"Para fans sangat sopan dan mereka memberikan tip yang besar," kata Lockwood, seperti dikutip dari Vancouver Sun. "Para pekerja saya sangat senang. Karena lingkungan kerja juga jadi lebih menyenangkan." Dia tidak menyebutkan berapa besar pemasukan ekstra yang dia dapat dengan kedatangan para fans Dota 2. Namun, dia mengaku, pendapatan The Pint memang "meningkat tajam" selama The International.

The International 8 di Roger Arena, Kanada. | Sumber: Wikipedia

Kompetisi esports besar memang bisa menarik ribuan atau bahkan puluhan ribu wisatawan. Hanya saja, turnamen esports biasanya tidak berlangsung lama. Selain itu, turnamen-turnamen besar seperti The International atau League of Legends World Championship biasanya memilih kota yang beda setiap tahun sebagai tuan rumah. Kabar baiknya, ada cara lain untuk membuat gamers tertarik mengunjungi sebuah kota sebagai turis. Ialah gaming hotel.

Di dunia, ada beberapa hotel yang menjadikan gaming hotel sebagai brand mereka, menargetkan gamers sebagai pelanggan mereka. Salah satunya adalah Arcade Hotel. Hotel yang terletak di Amsterdam, Belanda itu diklaim sebagai gaming hotel pertama. Apa yang membedakan Arcade Hotel dari hotel biasa? Di setiap kamar di Arcade Hotel, Anda akan menemukan berbagai konsol game, mulai dari konsol baru sampai konsol lawas. Tak hanya itu, Arcade Hotel juga menyediakan headset berkualitas dan internet cepat untuk para pengunjung.

Sama seperti hotel lain, Arcade Hotel punya kamar dengan ukuran yang berbeda-beda, mulai dari kamar dengan satu tempat tidur sampai kamar yang menyerupai kamar asrama dan dapat menampung hingga empat orang. Harga Single Room -- untuk 1 orang -- di Arcade hotel adalah EUR68,4 (sekitar Rp1,1 juta) per malam. Sementara untuk Friends Quad Room -- yang bisa menampung hingga 4 orang -- dihargai EUR133,2 (sekitar Rp2,2 juta) per malam. Arcade Hotel juga dilengkapi dengan Game Room, yaitu ruangan sebesar 270 kaki persegi yang dilengkapi dengan 6 PC gaming, semua konsol baru, serta bagian khusus untuk virtual reality.

Contoh gaming hotel lainnya adalah I Hotel, yang ada di Taoyuan District, Taiwan. Sama seperti Arcade Hotel, I Hotel juga menyediakan perlengkapan gaming di setiap kamar, berupa dua konsol modern dan dua PC gaming. PC gaming di hotel tersebut menggunakan prosesor i5-7400 dan GPU GTX 1080 Ti. Setiap kamar juga memiliki gaming chair serta TV 46 inci. Lobi dari I Hotel bahkan memiliki gaming arena yang bisa digunakan untuk main bersama.

Bahkan, Hilton Panama juga punya kamar khusus untuk para gamers. Memang, Hilton Panama bukanlah gaming hotel. Namun, hotel itu memiliki gaming room, yang seperti namanya, ditujukan untuk memanjakan para gamers. Kamar bernomor 2425 di Hilton Panama tidak hanya menawarkan pemandangan indah dan layanan mewah, tapi juga berbagai peralatan gaming lengkap. Di kamar itu, Anda akan menemukan TV 4K OLED, PC Alienware dengan prosesor i7-7800 dan GPU GTX 1080 Ti, konsol Xbox One Elite, laptop Alienware yang bisa dihubungkan ke monitor 34 inci, serta kursi gaming.

Gaming room yang ada di Hilton Panama. | Sumber: The Verge

Contoh gaming hotel lainnya adalah Atari Hotel, yang masih dalam tahap pembangunan. Hotel yang didesain oleh perusahaan arsitektur global Gensler itu akan dibuka di Las Vegas, Amerika Serikat, pada 2022. Hotel itu memiliki bentuk menyerupai A yang ada pada logo Atari. Konsep Atari Hotel sendiri datang dari Napoleon Smith III, pengusaha dan juga rekan dari GSD Group. Sebelum hadir dengan konsep Atari Hotel, dia memang dikenal sebagai orang yang senang menghidupkan kembali merek lama, menurut laporan Fast Company.

Smith mengatakan, Atari Hotel akan memiliki desain dengan tema gabungan antara cyberpunk dystopia dan 80s-era low-bit nostalgia. Setiap kamar akan dilengkapi dengan berbagai platform gaming dan banyak game. Kamar di Atari Hotel juga akan memiliki TV berukuran besar serta internet cepat. Smith mengatakan, target market untuk Atari Hotel adalah hardcore gamers serta keluarga.

Taman Bermain dan Kafe Bertema Game

Jika gaming hotel dirasa masih tidak cukup menarik sebagai objek wisata untuk membuat para gamers keluar rumah, taman bermain bisa menjadi opsi alternatif. Banyak gamers yang bermimpi untuk bisa masuk ke dalam dunia game favoritnya. Kabar baik bagi para fans Super Mario, mereka bisa berkunjung ke Super Nintendo World untuk merasakan bagaimana rasanya hidup di dunia Super Mario.

Terletak di Universal Studios Japan, Super Nintendo World memang didesain dengan tema Super Mario. Misalnya, gerbang dari taman bermain itu merupakan pipa hijau yang menyerupai Warp Pipes dalam game Super Mario. Selain itu, pengunjung juga akan menemukan question blocks, yang bisa dipukul untuk mendapatkan koin virtual. Super Nintendo World juga punya berbagai atraksi yang menyerupai gameplay dari game Super Mario, seperti Koopa's Challenge, yang menyerupai Mario Kart.

Tentu saja, di Super Nintendo World, para pengunjung juga akan menemukan karakter-karakter ikonik dalam Super Mario, seperti Mario, Luigi, dan Princess Peach. Mereka bisa mengambil foto bersama dengan karakter-karakter tersebut. Hanya saja, selama pandemi, pengunjung dilarang untuk menyentuh karakter-karakter itu. Selain itu, selama pandemi, Super Nintendo World juga membatasi jumlah pengunjung yang boleh masuk. Setiap hari, jumlah maksimal pengunjung dari Super Nintendo World adalah 10 ribu orang, setengah dari kapasitas maksimal taman bermain itu.

Keputusan Nintendo untuk membangun Super Nintendo World menunjukkan bahwa mereka ingin mencari cara baru dalam memonetisasi intellectual proprety (IP) mereka, seperti Super Mario.

"Nintendo memiliki strategi untuk mengalihkan bisnis mereka dari bisnis game ke bisnis hiburan. Dan strategi itu bisa memakan waktu puluhan tahun," kata David Gibson, analis di Astris Advisory, perusahaan asal Tokyo, Jepang, seperti dikutip dari CNN.

Super Nintendo World bisa menghasilkan miliaran rupiah setiap harinya. Di hari kerja, harga tiket masuk dari taman bermain tersebut adalah 7,8 ribu yen atau sekitar Rp980 ribu. Sementara di akhir pekan, harga tiket naik menjadi 8,4 ribu yen atau sekitar Rp1,1 juta. Dengan asumsi jumlah pengunjung hanya mencapai 5 ribu setiap hari -- setengah dari kapasitas yang diperbolehkan -- maka setiap harinya, Super Mario World bisa mendapatkan sekitar Rp4,9 miliar atau Rp5,5 miliar. Namun, membangun taman bermain itu juga tidak murah. Untuk membangun Super Nintendo World, dibutukan waktu selama 6 tahun dan biaya sebesar US$500 juta (sekitar Rp7,2 triliun).

Sayangnya, tidak semua perusahaan game bisa melakukan apa yang Nintendo lakukan. Untuk membuat dan menyukseskan taman bermain sebesar Super Mario World, sebuah perusahaan tidak hanya harus memiliki dana yang cukup, tapi mereka juga harus memiliki IP yang dikenal oleh banyak orang. Karena itu, sebagian perusahaan game memilih untuk "hanya" membuat kafe bertema game. Dua contohnya adalah Capcom Cafe dan Square Enix Cafe yang terletak di Tokyo, Jepang.

Pada Desember 2019, Capcom Cafe mengadakan kolaborasi dengan Devil May Cry, salah satu franchise game milik Capcom. Bentuk kolaborasi ini adalah Capcom Cafe akan menyediakan menu khusus yang terinspirasi dari game Devil May Cry. Kolaborasi itu diadakan untuk merayakan Devil May Cry 5, yang dirilis pada Maret 2019. Berikut beberapa menu yang menjadi bagian dari kolaborasi Capcom Cafe dan Devil May Cry:

  1. Bloody Palace BBQ Plate ~Vergil Mode~ (1,580 yen + pajak)
  2. Ciacco’s Pizza Hamburger ~Dante Mode~ (1,580 yen + pajak)
  3. V’s Book Chocolate Cake (1,480 yen + pajak)
  4. Devil’s Chocolate Parfait ~Nero Mode~ (1,280 yen + pajak)
  5. Dante (880 yen + pajak)
  6. Nero (880 yen + pajak)

Menu khusus di Capcom Cafe. | Sumber: Siliconera

Di Capcom Cafe, selain makanan yang terinspirasi dari karakter-karakter Devil May Cry, pengunjung juga bisa membeli stirring sticks -- yang menampilkan karakter-karakter dalam Devil May Cry -- seharga 700 yen jika mereka membeli minuman. Namun, pengunjung tidak bisa memilih karakter yang muncul di stirring sticks yang mereka dapatkan, menurut laporan Siliconera.

Di Indonesia, setahu saya, tidak ada kafe khusus bertema game seperti Capcom Cafe atau Square Enix Cafe. Namun, pada November 2021 lalu, MiHoYo -- developer dari Genshin Impact -- mengadakan event offline, HoYo Fest, di Jakarta. Bekerja sama dengan Warung Koffie Batavia, MiHoYo membuat kafe yang bertema tiga game mereka: Genshin Impact, Honkai Impact, dan Tear of Themis, seperti yang disebutkan dalam Medcom.id.

Bagi pengunjung yang menghabiskan uang dengan nominal tertentu, mereka akan mendapatkan mystery gift box alias gacha di dunia nyata. Kotak itu berisi artwork, pin, figurine, atau merchandise lainnya. Hanya saja, orang yang mendapatkan kotak itu tidak akan tahu apa yang ada di dalam kotak tersebut sampai mereka membukanya. Selain di Indonesia, MiHoYo juga mengadakan event offline tersebut di beberapa negara Asia Tenggara lain, seperti Malaysia dan Singapura.

Sayangnya, eksekusi HoYo Fest di Indonesia masih kurang maksimal. Menurut laporan Risa Media, sejumlah pengunjung mengajukan protes karena kafe bertema di HoYo Fest dianggap kurang memberikan nuansa game. Dekorasi dalam kafe hanya berupa tempelan karakter dan jejeran merchandise. Tak hanya itu, penyajian makanan juga dianggap kurang memuaskan. Memang, jika Anda membandingkan tampilan pempek yang ada di HoYo Fest dengan menu makanan hasil kolaborasi Capcom dengan Devil May Cry, akan terlihat perbedaan cara penyajian makanan antara keduanya.

Kesimpulan

Dimana ada gula, di situ ada semut. Pepatah ini juga berlaku untuk para fans esports. Dimana ada kompetisi esports besar, para fans pasti akan berkumpul. Tren ini bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mendorong industri pariwisata. Semakin besar turnamen esports yang diadakan, semakin besar pula massa yang mungkin datang. Hanya saja, semakin besar turnamen esports yang hendak digelar, semakin banyak pula persyaratan yang harus dipenuhi kota tuan rumah.

Sebagai contoh, sebelum pandemi, Valve sempat hendak melelang posisi kota tuan rumah dari The International. Beberapa persyaratan yang mereka ajukan antara lain koneksi internet yang cepat, transportasi umum yang baik, bandara bertaraf internasional, dan stadion dengan kapasitas sebanyak 15 ribu sampai 80 ribu orang.

Selain turnamen esports, gaming hotel atau taman bermain juga bisa menjadi objek wisata yang menarik para gamers. Hanya saja, membangun gaming hotel atau taman bermain seperti Super Nintendo World membutuhkan biaya yang besar. Alternatif yang tersedia adalah membuat kafe bertema game. Memang, kafe bertema game kemungkinan tidak akan menarik pengunjung dari luar negeri. Namun, setidaknya, keberadaan kafe bertema akan bisa membuat gamers lokal tertarik untuk datang dan menghabiskan uangnya.

Satu hal yang harus diingat, pengunjung dari kafe bertema game biasanya sudah tahu bahwa harga makanan dan minuman di kafe itu akan lebih tinggi dari biasanya. Dan mereka bersedia untuk membayar harga tersebut. Sebagai gantinya, mereka ingin mendapatkan pengalaman yang memuaskan selama mereka ada di kafe, baik dari nuansa yang ditampilkan oleh kafe, menu makanan/minuman, sampai gyang ada.