Pelajaran yang Bisa Diambil dari Overwatch League

Viewership dari Overwatch League cenderung turun selama beberapa tahun belakangan

Overwatch League (OWL) merupakan salah satu proyek esports paling ambisius di era 2010-an. Saat digelar untuk pertama kalinya pada 2017, OWL sering dibandingkan dengan liga olahraga tradisional, termasuk dengan National Football League (NFL) di Amerika Serikat. Dan memang, Activision Blizzard menerapkan beberapa karakteristik dari liga olahraga tradisional ke OWL.

OWL merupakan salah satu liga esports pertama yang menerapkan model franchise. Berbeda dengan kompetisi terbuka, liga esports yang menggunakan model franchise hanya bisa diikuti oleh organisasi esports tertentu. Untuk bisa ikut dalam liga dengan franchise, organisasi esports harus membayar sejumlah uang.

Dalam kasus OWL, tim yang ikut serta juga harus punya stadion sendiri sebagai markas. Dengan begitu, OWL bisa menerapkan sistem pertandingan home-away, layaknya liga sepak bola.

Hal lain yang Blizzard tiru dari liga olahraga tradisional adalah dengan menentukan gaji minimal untuk para pemain. Mereka menetapkan, gaji minimal untuk para pemain Overwatch profesional adalah US$50 ribu per tahun.

Harapan yang Terlalu Tinggi untuk OWL

Di Activision Blizzard, Steve Bornstein memegang jabatan sebagai Chairman of Media Networks. Sebelum itu, dia pernah memegang jabatan tinggi di NFL Network, ESPN, dan ABC. Selama dia bekerja di ESPN, timnya berhasil memenangkan 59 Emmys dan 57 Cable Ace Awards. Sebelum meninggalkan NFL, dia mengatakan, esports merupakan satu-satunya industri yang punya potensi untuk menyaingi popularitas liga american football nasional.

Activision Blizzard pun tampaknya percaya akan potensi bisnis dari industri esports. Belum lama ini, Bloomberg mengungkap bahwa untuk mendorong organisasi esports membeli lisensi tim OWL, Blizzard menjanjikan, OWL akan mendapatkan untung sebesar US$125 juta pada 2020. Sayangnya, proyeksi Blizzard tersebut gagal untuk direalisasikan.

Blizzard menjanjikan keuntungan besar bagi tim yang mau membeli lisensi OWL. | Sumber: The Business Journal

Tak hanya itu, viewership dari OWL juga cenderung turun. Menurut data dari Esports Charts, jumlah peak viewers dari Overwatch League 2022 Summer Showdown hanya mencapai 51 ribu orang, turun jika dibandingkan dengan viewership pada 2021 dan 2020. Padahal, biaya untuk membeli lisensi tim di OWL mencapai setidaknya US$20 juta.

Ada beberapa alasan mengapa viewership dari OWL menunjukkan tren turun. Pertama, di awal 2020, Blizzard menjadikan YouTube sebagai platform siaran utama untuk OWL. Padahal, Twitch masih menjadi platform streaming game paling populer, khususnya di Amerika Utara. Alasan lain di balik turunnya hype akan OWL adalah pandemi COVID-19, yang menyebabkan banyak negara menetapkan lock down. Alhasil, para fans tidak lagi bisa menghadiri OWL secara langsung.

Seolah hal itu tidak cukup buruk, Activision Blizzard juga diterpa skandal terkait diskriminasi dan pelecehan seksual di tempat kerja. Skandal ini tidak hanya mendorong para pekerja Activision Blizzard untuk mogok dan menuntut perusahaan ke pengadilan, tapi juga membuat sponsor, gamers, dan advertisers memutuskan untuk meninggalkan Overwatch League.

Protes dari para pekerja Activision Blizzard. | Sumber: Forbes

Namun, hal itu bukan berarti OWL mati begitu saja. Usaha terbaru untuk memulihkan OWL adalah rebranding dari Philadelphia Fusion, salah satu tim populer di liga tersebut. Tim itu akan mengubah namanya menjadi Seoul Infernal dan memindahkan markasnya ke Seoul, Korea Selatan. Dengan ini, mereka akan menjadi tim kedua yang bermarkas di Seoul, selain Seoul Dynasty.

Terlepas dari usaha untuk memulihkan popularitas OWL, masih belum diketahui apakah liga itu akan menemukan cara untuk mendapatkan untung.

Pada 2021, CEO Activision Blizzard, Bobby Kotick justru memecat 50 orang dari divisi esports. Harapan OWL kini tampaknya ada pada rencana Microsoft untuk mengakuisisi Activision Blizzard. Sayangnya, akuisisi bernilai US$69 miliar itu tampaknya tengah dihadang oleh Federal Trade Commission (FTC).

Selain itu, OWL juga harus menghadapi keadaan ekonomi makro yang kurang kondusif. Hype dari esports pun sudah mulai turun. Baik investor maupun sponsor mulai menginginkan hasil nyata dari investasi yang mereka tanamkan. WIRED percaya, hal ini bukan berarti industri esports akan mati. Hanya saja, para investor esports mulai menyadari, ekspektasi awal akan industri esports terlalu tinggi.

Menurut Tobias Scholz, sejak awal, ekspektasi akan esports memang tidak masuk akal. Scholz merupakan Assistant Professor di University of Siegen of Human Resource Management and Organizational Behavior dan juga Founding Chair dari Esports Research Network.

Dia mengatakan, jika sebuah organisasi esports mendadak mendapatkan investasi dalam jumlah besar, mereka justru akan merasa tertekan untuk bisa mengembalikan investasi tersebut. Dia memperkirakan, dalam beberapa tahun ke depan, banyak organisasi esports yang akan mengalami kesulitan.

Kesalahan Dalam Konsep Esports Vs Olahraga Tradisional

Ekpektasi yang terlalu tinggi pada esports tampaknya muncul karena esports sering disandingkan dengan olahraga tradisional populer, seperti sepak bola atau basket. Dalam buku berjudul Global Esports: Transformation of Cultural Perceptions of Competitive Gaming, Rory K. Summerley mengatakan bahwa membandingkan esports dengan sepak bola atau basket merupakan kesalahan. Karena, hal itu membuat orang-orang tidak menyadari kemiripan esports dengan olahraga lain yang memiliki audiens niche.

Fans esports hanyalah segmen kecil dari gamers. | Sumber: Esports Insider

"Jika dibandingkan dengan olahraga lain, esports sangat tidak stabil. Di kalangan gamers atau penonton konten gaming pun, fans esports hanyalah segmen kecil," ujar Summerley. Senada dengan Summerley, Cem Abanazir, pengacara yang fokus pada industri olahraga, mengatakan bahwa industri esports memang terkesan "amburadul" jika dibandingkan dengan olahraga tradisional. Karena, esports tidak punya badan internasional yang bertanggung jawab dalam menentukan regulasi umum yang harus dipatuhi oleh semua pihak.

Dalam esports, pihak yang punya kuasa tertinggi dan bebas untuk menentukan regulasi dari competitive scene adalah publisher. Namun, kuasa publisher pun terbatas pada skena esports dari game yang mereka buat. Jadi, Activision Blizzard akan punya kuasa tertinggi pada Overwatch. Namun, untuk skena esports Mobile Legends, maka Moonton-lah yang memegang kuasa paling tinggi.

Menurut Karol Severin, Senior Analyst dan Co-founder, Midia Research, jika industri esports akan fokus sepenuhnya pada elemen competitive gaming, maka mereka harus mencari cara lain untuk mendapatkan pemasukan. Contoh yang dia berikan adalah bagaimana banyak bioskop bisa bertahan di era Great Depression dengan menjual popcorn.

Di industri esports, perusahaan yang telah sukses melakukan hal ini adalah Riot Games. Mereka tidak hanya sukses dalam membangun skena esports dari League of Legends, mereka juga bisa melebarkan jangkauan Intellectual Property (IP) mereka ke media lain, seperti musik dan animasi.

Untuk menjajaki musik, Riot membuat grup K-Pop virtual bernama K/DA. Sementara untuk animasi, League of Legends memiliki Arcane. Riot juga melakukan hal yang sama untuk VALORANT. Mereka pertama kali memperkenalkan merchandise VALORANT di Juli 2020, satu bulan setelah game shooter tersebut dirilis.