Mengenal Sejarah Discord, Platform Komunikasi Favorit Para Gamers

Pendiri Discord pada awalnya tertarik untuk membuat game dan bukannya platform komunikasi untuk gamers

Sekarang, Discord dikenal sebagai aplikasi chatting untuk para gamers. Namun, pada awalnya, pendiri Discord sebenarnya membuat perusahaan untuk mengembangkan game dan bukannya aplikasi chatting.

Perlahan tapi pasti, stigma bahwa gamers adalah penyendiri mulai terkikis. Dengan semakin populernya game online, game justru mulai menjadi tempat bagi para pemainnya untuk bersosialisasi. Sayangnya, fitur chat dalam game terkadang tidak cukup bagi para gamers. Karena itulah, mereka mulai menggunakan aplikasi lain untuk saling berkomunikasi dengan satu sama lain, baik saat mereka sedang bermain game atau di luar game.

Dulu, aplikasi yang digunakan oleh para gamers adalah TeamSpeak dan Skype. Kebanyakan para gamers tidak terlalu suka dengan dua aplikasi itu. Tapi, mereka tidak punya opsi lain. Setidaknya, sampai Discord muncul pada 2015. Sejak awal, Discord memang menargetkan para gamers sebagai pengguna utama mereka. Mereka bahkan menggunakan tagline yang sangat blak-blakan: "Waktunya untuk berhenti menggunakan Skype dan TeamSpeak".

Apa itu Discord? Bagaimana sejarah Discord serta bagaimana ia bisa menjadi aplikasi chatting populer di kalangan gamers? Simak artikel ini.

Berawal dari Studio Game

Discord didirikan oleh Jason Citron dan Stan Vishnevskiy. Sebagai gamers, keduanya percaya, pertemanan yang terjalin saat bermain game adalah sesuatu yang berharga. Dan memang, ada banyak gamers yang ingin tetap bisa terhubung dengan orang-orang yang mereka temui saat mereka bermain game.

Citron bercerita, dia suka untuk memainkan game-game online, khususnya World of Warcraft. Dia bahkan hampir tidak menyelesaikan kuliahnya karena dia menghabiskan terlalu banyak waktunya untuk memainkan game tersebut. Kecintaannya pada game membuatnya tertarik untuk belajar programming dan mencari tahu cara untuk membuat game. Setelah dia lulus kuliah, dia pun mencoba untuk merealisasikan cita-citanya.

OpenFeint merupakan jejaring sosial untuk para gamers. | Sumber: VentureBeat

Studio game menjadi perusahaan pertama yang Citron buat. Pada 2008, studio milik Citron merilis game pertama mereka. Namun, game itu kurang sukses. Citron pun memutuskan untuk banting setir dan mencoba untuk membuat jejaring sosial bagi para gamers. Jaringan sosial yang dinamai OpenFeint itu memiliki fungsi dan fitur layaknya Xbox Live. Pada akhirnya, dia menjual teknologi tersebut pada Gree, perusahaan gaming asal Jepang.

Setelah itu, pada 2012, Citron membuat perusahaan baru, yang dinamai Hammer & Chisel. Belum menyerah, dia masih ingin membuat game. Kali ini, dia fokus untuk membuat game core multiplayer untuk pengguna tablet. Hasilnya, Hammer & Chisel merilis game multiplayer online serupa League of Legends, yang dinamai Fates Forever. Mereka juga melengkapi game tersebut dengan fitur teks dan voice chat. Dengan begitu, pemain bisa mengobrol dengan satu sama lain dengan mudah.

Setelah membuat Fates Forever, Citron dan timnya menyadari bahwa fitur terbaik dari game mereka adalah fitur chat. Mereka pun memutuskan untuk melakukan pivot. Daripada membuat game, mereka akan mencoba untuk membuat aplikasi chatting untuk para gamers. Karena, saat itu, para gamers masih menggunakan TeamSpeak dan Skype -- yang mereka tidak suka -- untuk berkomunikasi saat bermain game.

Keputusan Hammer & Chisel untuk berubah halauan memiliki konsekuensi sendiri. Salah satunya, mereka harus menutup tim pengembangan game, yang berarti, mereka harus memecat sepertiga karyawan mereka. Tak hanya itu, dalam enam bulan ke depan, ada banyak pegawai perusahaan yang ditugaskan untuk mengisi posisi baru. Mereka bahkan mengubah visi dan budaya perusahaan. Padahal, saat itu, mereka bahkan tidak yakin apakah keputusan mereka untuk fokus membuat aplikasi chatting untuk gamers akan sukses.

Fates Forever, game buatan Hammer & Chisel. | Sumber: VentureBeat

"Ketika kami memutuskan untuk membuat Discord, kami hanya memiliki sekitar 10 pengguna," kata Citron pada Protocol. Ada dua grup gamers yang menggunakan Discord: satu kelompok berisi para pemain League of Legends dan satunya lagi merupakan anggota guild World of Warcraft. "Kami menunjukkan Discord ke teman-teman kami dan mereka memuji aplikasi kami, tapi mereka tidak pernah mencobanya."

Setelah mengobrol dengan para pengguna, tim Citron menyadari masalah besar pada Discord. Aplikasi Discord memang lebih baik dari Skype, tapi ia tetap memiliki masalah fundamental, seperti kualitas suara yang terkadang turun atau koneksi yang terputus mendadak. Menyadari hal ini, tim Discord memutuskan untuk mengubah teknologi voice chat mereka. Mereka melakukan perombakan teknologi hingga tiga kali dalam beberapa bulan pertama dari pengembangan Discord.

Bersamaan dengan proses perombakan teknologi voice chat, tim Discord juga memperkenalkan beberapa fitur baru. Salah satunya, fitur yang memungkinkan pengguna untuk mengajak orang lain bergabung ke server yang dia buat. Fitur baru lainnya adalah kemunculan peran moderator. Orang-orang yang menjadi moderator bertugas untuk memblokir para pengguna yang membuat masalah di sebuah server.

Moderator bisa memberikan hukuman ban pada pengguna.

Dalam sejarah Discord, saat inilah orang-orang yang mencoba untuk menggunakan aplikasi tersebut mulai jatuh cinta. Mereka suka dengan fitur-fitur yang ditawarkan oleh Discord. Alhasil, mereka pun memberitahukan keberadaan Discord pada teman-teman mereka. Discord menganggap 13 Mei 2015 sebagai tanggal peluncuran aplikasi. Alasannya, karena pada hari itulah, orang-orang mulai menggunakan aplikasi tersebut.

Keunikan Aplikasi Chatting untuk Gamers

Salah satu keunikan Discord adalah fitur voice chat yang sangat mudah untuk digunakan. Berbeda dengan kebanyakan aplikasi voice chat lainnya, Discord tidak mengharuskan pengguna untuk membuat tautan atau memasang password khusus saat mengundang orang lain untuk mengobrol di voice chat. Setiap channel di aplikasi ini memiliki voice chat khusus, dan semua anggota server bisa langsung bergabung dalam voice chat.

Vishnevskiy menganalogikan server di Discord layaknya rumah, dengan channels di server sebagai kamar. Selama seseorang telah masuk ke dalam server, dia punya kebebasan untuk mengakses channels yang ada di server tersebut. Berkat sistem tersebut, Discord dapat memberikan pengalaman penggunaan yang berbeda dengan aplikasi lain. Berbeda dengan media sosial, Discord tidak memiliki timeline. Pengguna juga tidak usah terlalu pusing dengan jumlah teman atau pengikut yang dia punya.

Anggota server bisa masuk ke channel voice chat sewaktu-waktu.

Walau terkesan sederhana, apa yang Discord coba lakukan sebenarnya tidak mudah. Vishnevskiy mengungkap, untuk merealisasikan visi mereka, tim Discord harus menggunakan arsitektur sistem yang unik. Discord juga menghabiskan banyak waktu untuk memastikan proses transisi dari menggunakan voice channel di ponsel dan di komputer bisa terasa seamless. Tak hanya itu, Discord juga terus berusaha menekan latensi, yang merupakan musuh utama dari developer aplikasi komunikasi real-time.

Pada 2020, Discord menambahkan fitur video chat. Melalui fitur tersebut, pengguna tidak hanya bisa menampilkan video dari kamera, tapi juga melakukan screen sharing saat mereka sedang bermain game. Dengan begitu, para pengguna bisa mengadakan streaming party kecil-kecilan bersama teman-teman mereka. Fitur screen sharing ini sudah mendukung resolusi 4K dengan tingkat freshrate 60 frame per second.

Hal lain yang membuat Discord tampil beda dari aplikasi komunikasi lainnya adalah karena ia fleksibel. Di server Discord, pengguna bisa menambahkan tools, seperti bot, sesuai dengan kebutuhan mereka. Contohnya, server komunitas tabletop RPG biasanya memiliki bot Avrae, yang berfungsi sebagai simulasi melempar dadu.

Contoh bot Avrae di Discord.

"Semua fitur di Discord seharusnya selaras dengan satu sama lain," kata Vishnevskiy. "Dan kami memang tidak mencoba untuk fokus pada satu fitur tertentu, seperti yang dilakukan oleh Google Meet atau Zoom." Biasanya, aplikasi seperti Teams dan Zoom akan fokus pada fitur-fitur teleconference, seperti breakout room, Q&A, dan transkrip. Sementara Discord masih terus fokus untuk meningkatkan kualitas dan menekan latensi.

"Kami menghabiskan sumber daya yang tidak sedikit untuk melakukan integrasi dengan GPU," ujar Vishnevskiy. "Dan walau masalah voice chat sudah diselesaikan sejak lama, kami juga ingin agar Discord bisa menamping seribu orang di satu voice channel... Dan memastikan mereka semua bisa memiliki latensi pada sub-milisecond. Fitur ini bukan sesuatu yang penting bagi aplikasi teleconference."

Munculnya Konten Bermasalah

Pada awalnya, gamers memang menjadi target utama Discord. Namun, ke depan, fitur-fitur yang ditawarkan oleh apikasi ini ternyata tidak hanya menarik para gamers, tapi juga komunitas lain di luar gaming. Sayangnya, seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna Discord, masalah pun mulai muncul, kemunculan orang-orang rasis atau seksis. Selain itu, juga muncul masalah seperti bullying atau hate speech.

Memang, masalah bullying dan hate speech juga terjadi di platform online lain, seperti media sosial. Hanya saja, Discord menawarkan ruang digital yang cukup privat. Berbeda dengan media sosial yang merupakan "ruang terbuka", tidak semua konten yang diunggah ke Discord bisa diawasi. Karena, tidak semua server terbuka untuk umum. Sebagian server hanya bisa dimasuki jika Anda mendapatkan undangan dari para anggota. Dan hal inilah yang membuat sejumlah ahli khawatir. Apalagi, karena kebanyakan pengguna Discord cenderung lebih muda dari media sosial lain.

Discord baru memiliki mempekerjakan Sean Li untuk memimpin tim Trust and Safety pada Juli 2017. Awalnya, Li mengira, tugas timnya hanyalah untuk memastikan aplikasi chatting itu tidak digunakan untuk menyebarkan konten ilegal, seperti pornografi. Dia menganggap, timnya tidak perlu bertanggung jawab atas konten yang disebar dalam server komunitas. Dia kira, meskipun ada server yang berisi orang-orang bermasalah, hal itu tidak akan menimbulkan masalah besar selama server itu merupakan server privat. Sehingga pengguna bisa dengan mudah menghindari server tersebut.

Serangan mobil di Charlottesville. | Sumber: NBC News

Namun ternyata, ada orang-orang yang menggunakan Discord untuk merencanakan tindakan kriminal. Tim Li baru menyadari hal ini setelah serangan mobil di Charlottesville terjadi. Pada Agustus 2017, sebuah mobil menabraki kerumunan pengunjuk rasa damai. Kejadian ini berakhir dengan 1 orang meninggal dan 28 orang terluka. Usut punya usut, serangan tersebut ternyata telah direncanakan, melalui Discord. Dan hal inilah yang membuat Li dan tim sadar, mereka harus membuat peraturan yang jelas akan konten yang boleh dibagikan dalam platform mereka.

"Discord layaknya sebuah negara dengan 100 juta penduduk, yang tinggal di negara bagian dan kota yang berbeda-beda," kata Li, dikutip dari Protocol. "Kami harus membuat regulasi yang mengatur apa saja yang boleh dilakukan para pengguna saat membuat sebuah komunitas. Kami juga akan memberdayakan para moderator dan admin di server untuk membantu kami menegakkan peraturan tersebut. Mereka juga akan punya kuasa untuk menyesuaikan peraturan di komunitas mereka, agar sesuai dengan kebutuhan komunitas mereka."

Masalah lain yang dihadapi oleh Discord adalah monetisasi. Namun, masalah ini mungkin tidak terlalu mengkhawatirkan, mengingat tahun lalu, Discord mendapatkan investasi sebesar US$500 juta. Berkaca dari Twitter dan Reddit, memonetisasi platform komunikasi memang tidak mudah. Tapi, satu hal yang pasti, Citron dan Vishnevskiy setuju, mereka tidak ingin mendapatkan untung dengan memasang iklan atau menjual data pengguna.

Nitro adalah layanan premium di Discord.

Sejauh ini, sumber pemasukan utama Discord adalah Nitro, layanan premium yang memungkinkan pengguna untuk mengganti username mereka, menggunakan lebih banyak emoji, dan mendapatkan audio dan video dengan kualitas yang sedikit lebih baik. Tapi, Citron dan Vishnevskiy juga sempat punya rencana monetisasi lain, yaitu menjual game pada para penggunanya.

Pada 2018, Discord sempat meluncurkan Discord Store, yang menjual sejumlah game yang telah dipilih langsung oleh tim internal. Sayangnya, toko digital untuk game ini gagal. Karena, para pengguna Discord memang hanya menggunakan platform itu sebagai alat komunikasi, bukan untuk mencari game. Kegagalan ini menyadarkan perusahaan bahwa mereka harus melebarkan fokus mereka. Mereka tidak bisa hanya fokus sepenuhnya pada para gamers. Mereka juga bisa menarik komunitas non-gaming untuk menggunakan platform mereka.

Sumber header: PC Gamer