PlayStation Showcase 2023 Perkuat Strategi Sony di Ranah Live Service Game

Setelah absen di tahun 2022, Sony kembali menggelar PlayStation Showcase, kali ini dengan fokus ekstra pada live service game

Sony baru saja menggelar event virtual bertajuk PlayStation Showcase pekan lalu. Kehadiran event ini cukup penting mengingat terakhir kali Sony mengadakannya adalah di tahun 2021, dan hype yang berhasil dibangun pun cukup besar jika berkaca pada apa saja yang Sony pamerkan di event sebelumnya tersebut.

Sebagai konteks, PlayStation Showcase 2021 dimanfaatkan Sony untuk menyingkap jadwal rilis resmi Gran Turismo 7 beserta trailer gameplay perdana God of War Ragnarok di antara sejumlah pengumuman lainnya. Keduanya merupakan judul game AAA yang hanya tersedia secara eksklusif untuk platform PlayStation.

Menjadi sangat wajar apabila banyak yang menaruh harapan yang sama pada PlayStation Showcase edisi tahun 2023 ini, apalagi mengingat Sony punya sejumlah proyek game AAA yang tengah dikerjakan oleh studio-studio internalnya, antara lain Marvel's Spider-Man 2 dan Marvel's Wolverine. Sayang sekali, yang muncul di event pekan lalu cuma Spider-Man 2 lewat sebuah trailer gameplay berdurasi nyaris 11 menit.

Sebagai gantinya, Sony kali ini malah lebih banyak berfokus pada ranah baru yang sedang digelutinya: live service game. Tercatat ada setidaknya 4 game live service yang dipamerkan pekan lalu, semuanya dari studio-studio di bawah naungan PlayStation Studios.

Setelah bertahun-tahun sukses besar di kategori game single-player, Sony sepertinya sudah siap untuk mencoba peruntungannya di ranah live service, dan event PlayStation Showcase 2023 kemarin menjadi buktinya.

Akuisisi studio yang berfokus pada live service game

Komitmen Sony pada ranah live service bukanlah sebatas omongan. Dalam 18 bulan terakhir, Sony tercatat sudah mengakuisisi tiga studio game besar yang semuanya berfokus pada live service game: Bungie, Haven Studios, dan Firewalk Studios.

Bungie, seperti yang kita tahu, merupakan salah satu nama terbesar di industri live service game dengan pengalaman lebih dari tiga dekade. Seri live service game andalan mereka, Destiny, terbukti sukses besar — cukup besar sampai Sony rela mengucurkan dana senilai $3,6 miliar untuk membeli Bungie.

Destiny 2 / Bungie

Haven Studios di sisi lain merupakan studio game anyar yang didirikan oleh Jade Raymond, eks veteran Ubisoft dan EA yang sempat dipercayai mengepalai Stadia Games Entertainment. Sony mengakuisisi Haven pada Maret 2022, setahun setelah mengumumkan bahwa keduanya akan bekerja sama mengembangkan live service game.

Terakhir sekaligus yang terbaru adalah Firewalk Studios, yang diakuisisi pada April 2023 kemarin. Sama seperti Haven, Firewalk juga merupakan studio baru yang didirikan oleh sosok-sosok berpengalaman di industri video game. Nasibnya pun juga serupa, mengingat pengumuman akuisisinya datang tepat setahun setelah Sony mengumumkan kemitraan di antara kedua perusahaan.

Baik Haven maupun Firewalk sama-sama Sony caplok bahkan sebelum merilis game pertamanya. Hal ini bisa dilihat sebagai rasa percaya diri Sony terhadap proyek live service game yang sedang digarap oleh kedua studio tersebut. Bersama Bungie, keduanya pun juga sempat memamerkan teaser dari game yang sedang masing-masing kerjakan di PlayStation Showcase 2023.

Selusin live service game dalam dua tahun ke depan

Beberapa hari sebelum PlayStation Showcase 2023 digelar, Sony sempat memberikan presentasi bisnis divisi gaming-nya ke hadapan investor. Dalam presentasi tersebut, Hermen Hulst selaku pimpinan PlayStation Studios mengatakan bahwa mereka saat ini punya 12 live service game yang sedang dalam tahap pengembangan, yang semuanya dijadwalkan hadir dalam dua tahun ke depan.

Empat di antaranya telah disingkap di acara PlayStation Showcase kemarin. Dari Haven Studios, ada game berjudul Fairgame$ yang menawarkan pengalaman PvP kompetitif dengan tema perampokan ala seri game Payday. Belum banyak yang diketahui tentang Fairgame$ terlepas dari trailer sinematiknya.

Game yang kedua adalah Concord bikinan Firewalk Studios. Sama seperti Fairgame$, Sony masih enggan mengungkap banyak detail mengenai Concord, kecuali fakta bahwa ia merupakan PvP multiplayer first-person shooter dengan setting sci-fi dan dunia yang penuh warna.

Dari pihak Bungie, mereka tidak hanya mengumumkan expansion baru untuk Destiny 2 saja, melainkan juga sebuah game baru berjudul Marathon. Berdasarkan penjelasan resmi Bungie, Marathon merupakan sebuah PvP extraction shooter, genre multiplayer yang dipopulerkan oleh judul-judul seperti Escape from Tarkov maupun Hunt: Showdown.

Yang menarik, jauh sebelum Bungie menggarap seri game Halo dan Destiny, mereka lebih dulu merilis game berjudul Marathon di tahun 1990-an. Bukan cuma satu, melainkan tiga game sekaligus, yang semuanya pada dasarnya membentuk fondasi atas pengalaman game tembak-menembak khas yang Bungie tawarkan selama ini.

Terakhir, ada game berjudul Helldivers 2 dari Arrowhead Game Studios. Arrowhead bukan merupakan studio internal Sony, akan tetapi game pertama mereka, Helldivers, dipublikasikan oleh Sony. Sekuelnya ini kembali ditangani oleh Sony, dengan target perilisan di tahun 2023 untuk PS5 sekaligus PC.

Dalam presentasinya, baik Sony maupun Arrowhead memang tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa Helldivers 2 bakal masuk kategori live service. Pun begitu, keputusan keduanya merilis game ini di PlayStation dan PC secara bersamaan merupakan indikasi kuat soal itu. Sebelumnya, Sony pernah bilang bahwa mereka akan menunggu setidaknya satu tahun sebelum merilis game eksklusif PlayStation di PC, terkecuali jika game-nya merupakan live service game.

Live service game tidak terbatas pada satu genre saja

Peralihan fokus Sony ke ranah live service ini sayangnya tidak disambut baik oleh publik. Tidak lama setelah livestream PlayStation Showcase rampung, beberapa media langsung memublikasikan artikel opini yang menunjukkan kekecewaannya terhadap arahan baru Sony.

Tidak jarang, yang dijadikan alasan adalah bagaimana fokus pada live service game ini terkesan kurang kohesif dengan brand PlayStation itu sendiri. Selama lebih dari dua dekade, PlayStation selalu dikenal akan deretan game single-player eksklusifnya, dengan nilai produksi dan perhatian terhadap detail yang sangat tinggi, salah satunya seperti yang ditunjukkan oleh seri game The Last of Us dari studio Naughty Dog.

Sepintas, kesannya memang terasa seperti kita sedang membanding-bandingkan antara game single-player dan multiplayer. Padahal, konteksnya sebenarnya adalah live service game, dan berdasarkan penjelasan bos PlayStation Studios kepada Games Industry belum lama ini, live service game itu tidak selamanya harus berwujud game multiplayer dengan elemen kompetitif.

"Ada risiko jika kita berbicara tentang 'live service' secara umum — seolah-olah ini adalah satu genre, atau bahkan satu model bisnis. PlayStation Studios membuat berbagai game yang dapat disebut sebagai 'live service', menargetkan genre yang berbeda, jadwal rilis yang berbeda, dan pada skala yang berbeda. Kami juga membuat game untuk audiens yang berbeda, dan saya percaya diri dengan rekam jejak kami dalam menciptakan dunia dan cerita yang disukai oleh para penggemar PlayStation," jelas Hermen Hulst.

Singkat cerita, live service game tidak selamanya harus seperti Fortnite atau Destiny. Definisi live service game sebetulnya lebih mengacu pada model bisnis game-as-a-service (GaaS), yang memungkinkan perusahaan game untuk mendapatkan pemasukan secara kontinu dari game yang sudah mereka luncurkan, misalnya dari microtransaction ataupun expansion pack berbayar yang dijual secara terpisah dari game utamanya.

Tantangan yang harus Sony lalui

Live service game membuka peluang yang sangat menggiurkan bagi perusahaan game, apalagi jika melihat kesuksesan game-game seperti Apex Legends dan Genshin Impact. Kedua game tersebut adalah game gratis, akan tetapi mampu mendatangkan pemasukan miliaran dolar bagi pengembangnya.

Namun kenyataan yang ada di lapangan tidaklah seindah itu. Dalam setahun terakhir misalnya, tercatat sudah ada 8 live service game yang diberhentikan, dan sebagian besar bahkan hanya terpaut beberapa bulan setelah peluncurannya. Hal ini tentu terkesan cukup ironis, mengingat salah satu keuntungan membuat live service game adalah supaya life cycle-nya bisa panjang alias tahan lama.

Sony pada dasarnya memegang taruhan besar di ranah live service game. Mereka tentu tidak mau masa lalunya membayang-bayangi gairah barunya ini. Ya, buat yang sudah lupa, ini bukan pertama kalinya Sony memiliki bisnis hiburan yang sepenuhnya berfokus di bidang live service game. Jauh sebelum ini, Sony punya divisi bernama Sony Online Entertainment (SOE) yang bertanggung jawab atas sederet MMORPG legendaris macam EverQuest maupun PlanetSide.

EverQuest / Daybreak Game Company (dulunya Sony Online Entertainment)

SOE sudah dijual sejak 2015 lalu, tapi seperti yang bisa kita lihat, itu tidak mencegah Sony mencoba kembali peruntungannya di ranah live service. Sony bukannya bakal berhenti mengembangkan game tradisional, hanya saja mereka bakal memperbanyak portofolio live service game-nya. Dalam presentasi bisnisnya baru-baru ini, Sony mengestimasikan bahwa rasio game tradisional dan live service-nya bakal berada di angka 40:60 di tahun 2025 nanti.

Lagipula, arahan yang Sony coba hadirkan kali ini bisa dibilang agak berbeda. Kalau kita lihat portofolio game besutan SOE dulu, hampir tidak ada satu game pun yang berasal dari IP populer milik Sony. Sekarang situasinya tidak demikian, sebab Sony sudah memulai pengerjaan game multiplayer dari franchise seperti Last of Us maupun Horizon, di samping deretan IP baru seperti yang sudah dipamerkan di PlayStation Showcase kemarin.

Namun sekali lagi, kalau dalam konteks live service game, hanya waktu yang bisa menentukan sukses atau tidaknya suatu game.