Perbandingan Regulasi Internet di Indonesia, Uni Eropa, dan Tiongkok

Setiap negara memiliki badan dan regulasi yang berbeda terkait internet

Internet memudahkan kita untuk mengakses berbagai macam informasi, termasuk informasi pribadi. Masalahnya, internet juga bisa disalahgunakan untuk melakukan penipuan, pencurian identitas, dan tindakan kriminal lainnya. Tak hanya itu, terkadang, perusahaan internet pun bisa menyalahgunakan data pengguna yang mereka punya. Karena itu, penting bagi sebuah negara untuk membuat regulasi internet.

Dalam artikel ini, saya akan membahas tentang berbagai regulasi dan masalah terkait internet yang muncul di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Indonesia, Peraturan Kominfo No. 5 Tahun 2020

Setiap negara biasanya punya badan atau lembaga yang bertanggung jawab untuk membuat peraturan terkait internet. Misalnya, di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) adalah salah satu lembaga pemerintah yang menangani segala sesuatu tentang internet. Belum lama ini, Kominfo meresmikan peraturan baru yang punya dampak yang cukup besar pada jagat maya di Indonesia.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat mulai diberlakukan pada 20 Juli 2022. Dengan begitu, perusahaan-perusahaan teknologi yang masuk dalam kategori PSE Lingkup Privat harus mendaftarkan diri ke Kominfo. Peraturan ini berlaku untuk PSE lokal maupun asing.

Kategori PSE. | Sumber: Ditjen Aptika

Menurut Kominfo, definisi dari PSE adalah setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik lainnya untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lainnya. Contoh dari PSE antara lain Facebook, Google, dan TikTok.

Selain mendaftarkan diri ke Kominfo, regulasi PSE juga mengharuskan perusahaan-perusahaan teknologi untuk memenuhi beberapa kewajiban lain. Salah satunya, memastikan bahwa layanan mereka tidak memuat atau menyebarkan konten yang dilarang. Kriteria dari konten yang dilarang adalah konten yang melanggar Undang-Undang, meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, serta konten yang mengandung informasi atau memberikan akses akan informasi yang dilarang.

Kewajiban lain yang sebuah PSE harus penuhi adalah menyediakan sarana untuk melaporkan konten yang dilarang. Peraturan ini ditujukan untuk platform yang memiliki konten buatan pengguna alias user-generated content. Sementara itu, Pasal 13 ayat 1 Permenkominfo 5/2020 menyebutkan, perusahaan harus menghapus atau melakukan take down jika ada konten terlarang di platform mereka. Pengajuan untuk penghapusan konten bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum, pengadilan, kementerian, atau bahkan masyarakat umum.

Terakhir, Pasal 21 dari Permenkominfo 5/2020 menyebutkan bahwa PSE harus memberikan akses pada data dari layanan internet pada kementerian atau aparat terkait. Data yang dimaksud dalam pasal ini memiliki tipe yang beragam, mulai dari tulisan, gambar, foto, suara, tulisan, peta, sampai email, menurut laporan Kompas.

Salah satu kewajiban PSE adalah mendaftarkan diri ke Kominfo. | Sumber: Ditjen Aptika

Menurut Kominfo, regulasi PSE menawarkan sejumlah manfaat untuk masyarakat Indonesia. Salah satunya, masyarakat akan bisa mengetahui PSE yang sudah terdaftar. sehingga mereka bisa lebih percaya pada PSE tersebut. Selain itu, Kominfo percaya, keberadaan regulasi internet terbaru ini juga akan membuat masyarakat menjadi lebih hati-hati dalam melakukan transaksi.

Tak hanya untuk masyarakat, Kominfo juga menganggap, regulasi PSE akan menguntungkan para perusahaan teknologi. Ketika sebuah PSE tercatat dalam Tanda Daftar PSE, ia akan lebih dipercaya oleh masyarakat. Keikutsertaan PSE dalam mematuhi regulasi internet baru dari Kominfo juga membantu pihak kementerian untuk memetakan ekosistem PSE di Indonesia.

Meskipun begitu, sebagian masyarakat justru khawatir dengan adanya Permen Kominfo No. 5 Tahun 2020. Teguh Aprianto, Pendiri Ethical Hacker Indonesia, menganggap, regulasi PSE memiliki "pasal karet", yang justru bisa disalahgunakan.

"Selagi masih ada pasal-pasal karet yang bermasalah, Permenkominfo ini akan jadi penerus UU ITE," kata Teguh, dikutip dari CNN Indonesia. Salah satu pasal dalam Permenkominfo 5/2020 yang dianggap sebagai "pasal karet" adalah Pasal 9 Ayat 3 dan 4, yang mengandung kalimat "meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum". Teguh khawatir, keberadaan kalimat tersebut justru akan digunakan oleh pemerintah untuk membatasi kebebasan berpendapat masyarakat di dunia maya.

Teguh Aprianto. | Sumber: CNN Indonesia

Pasal lain yang dikhawatirkan akan disalahgunakan adalah Pasal 36, yang mengizinkan penegak hukum untuk meminta data konsumen pada PSE. "Kalau dia sudah daftar, ya dia harus tunduk ke Permenkominfo ini. Pasal 9 ayat 3 dan 4 memiliki definisi yang karet, yang bisa menimbulkan masalah lain di masa depan," ujar Teguh. "Belum lagi, Pasal 36 yang menyebutkan aparat penegak hukum bisa minta data pribadi kita ke platform. Jadi, Permen ini tidak bisa dibilang teknis dan administratif saja."

Lebih lanjut, Teguh mengatakan, sebaiknya, pasal-pasal yang dianggap bermasalah itu dihapuskan. Karena, mereka rentan untuk disalahgunakan. Senada dengan Teguh, Niko Partners juga menyebutkan, ambiguitas pada Pasal 9 bisa menyebabkan masalah di industri game pada masa depan.

Amerika Serikat, Net Neutrality

Jika Indonesia punya Kominfo untuk menangani segala sesuatu terkait internet, di Amerika Serikat, ada setidaknya tiga lembaga yang bertanggung jawab dalam membuat regulasi internet. Ketiga lembaga tersebut adalah Federal Trade Commission (FTC), Federal Communications Commission (FCC), dan National Highway Traffic Security Administration (NHTSA).

Salah satu regulasi yang dihasilkan oleh FCC adalah net neutrality, yang mulai diterapkan pada 2010 dan berhenti digunakan pada Juni 2018. Namun, keputusan untuk berhenti menerapkan prinsip net neutrality sempat memancing debat di kalangan warga AS.

Pada dasarnya, net neutrality adalah peraturan yang mengharuskan penyedia layanan internet (ISP) untuk memperlakukan semua konten di internet secara adil. Hal itu berarti, ISP tidak boleh "menganakemaskan" konten dari perusahaan atau platform tertentu. Sebaliknya, perusahaan penyedia konten juga tidak bisa meminta ISP untuk memperlakukan platform atau konten mereka dengan khusus, menurut Investopedia.

Sebagai contoh, jika sebuah ISP bekerja sama dengan Disney, mereka tidak boleh meningkatkan kecepatan download atau streaming konten dari Disney+ dan memperlambat kecepatan download atau streaming dari platform lain, seperti Netflix. Sebaliknya, Disney juga tidak boleh membayar ISP agar Disney+ mendapatkan perlakuan istimewa. Salah satu alasan FCC membuat regulasi net neutrality adalah untuk mencegah ISP memperlambat atau bahkan mematikan akses ke situs atau layanan online tertentu. Selain itu, FCC juga ingin mencegah ISP memberikan perlakuan khusus pada konten atau platform yang mereka buat dan konten atau platform dari rekan bisnis mereka.

Sama seperti regulasi internet lainnya, regulasi net neutrality juga memunculkan pro dan kontra. Kubu yang mendukung net neutrality mengatakan, salah satu keuntungan dari adanya regulasi internet tersebut adalah kebebasan berekspresi. Karena, net neutrality melarang ISP untuk "mengendalikan" konten yang bisa pengguna akses di internet. Selain itu, internet yang terbuka juga bisa mendorong inovasi dan kompetisi. Dengan adanya net neutrality, perusahaan teknologi besar tidak bisa menghambat atau bahkan mematikan akses ke platform atau layanan buatan startup kecil yang menjadi pesaingnya.

Di sisi lain, grup yang menentang net neutrality juga percaya, regulasi itu memiliki beberapa dampak buruk. Salah satu dampak buruk itu adalah internet terbuka akan mendorong pengguna untuk terus mengonsumsi konten video. Demi memenuhi permintaan pelanggan, perusahaan pun akan fokus untuk meningkatkan kapasitas bandwidth dan bukannya mencari inovasi baru. Masalah lain yang mungkin muncul dari internet yang sepenuhnya terbuka adalah memudahkan penyebaran pornografi atau konten bermasalah lainnya.

Uni Eropa, GDPR

GDPR, regulasi internet buatan Uni Eropa, merupakan singkatan dari General Data Protection Regulation. Saat ini, GDPR dianggap sebagai regulasi privasi data terkuat. GDPR diresmikan pada Mei 2018, setelah digodok selama lebih dari empat tahun. Uni Eropa mengatakan, GDPR dibuat dengan tujuan untuk menyelaraskan hukum privasi data di negara-negara Eropa. Namun, GDPR juga cukup fleksibel sehingga negara-negara Eropa bisa menyesuaikan regulasi tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka.

GDPR ditujukan untuk semua negara di Uni Eropa. | Sumber: Law&Trust International

Fungsi utama dari GDPR adalah untuk melindungi data pribadi. Di bawah GDPR, data pribadi diartikan sebagai informasi yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi seseorang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Data pribadi ini bisa berupa nama, lokasi, dan username. Selain itu, data pribadi juga mencakup alamat IP dan cookie identifiers. GDPR juga mencakup kategori data pribadi yang dianggap sensitif, seperti ras, pandangan politik, agama, data kesehatan, dan orientasi seksual, seperti yang disebutkan oleh WIRED.

GDPR dibuat dengan tujuan untuk melindungi hak individu atas data pribadi mereka. Selain itu, regulasi ini juga didesain sedemikian rupa agar perusahaan dan organisasi mengubah cara mereka dalam menggunakan data pelanggan yang mereka punya. Perusahaan yang melanggar peraturan GDPR akan dikenakan sanksi yang besar. Rekor denda terbesar untuk GDPR dikenakan pada Amazon, yaitu sebesar EUR746 juta atau sekitar Rp11,3 triliun.

GDPR memiliki tujuh prinsip utama, yaitu:

  1. legal, adil, dan transparan
  2. pembatasan penggunaan data
  3. meminimalisir data
  4. akurasi
  5. pembatasan storage
  6. kerahasiaan dan integritas
  7. akuntabilitas

Yang dimaksud dengan meminimalisir data dalam GDPR adalah perusahaan hanya boleh mengumpulkan informasi pengguna yang memang mereka perlukan. Prinsip ini ditujukan untuk memastikan perusahaan tidak mengumpulkan data terlalu banyak. Misalnya, perusahaan e-commerce bisa saja mengetahui data tentang alamat atau nomor telepon pelanggan, tapi mereka tidak boleh mencari tahu tentangpandangan politik konsumen mereka.

Sementara itu, prinsip kerahasiaan dan integritas ditujukan untuk memastikan data pribadi warga Uni Eropa aman. Di bawah prinsip GDPR ini, perusahaan harus memastikan bahwa data pelanggan terlindungi dari kriminal atau pihak tidak berwenang lainnya. Perusahaan juga harus memastikan bahwa data pribadi pelanggan tidak hilang secara tidak sengaja, seperti dalam bencana alam.

Namun, GDPR tidak menyebutkan tentang praktek keamanan digital yang ideal.  Hal ini akan diserahkan pada setiap perusahaan atau instansi. Karena, setiap perusahaan atau instansi akan memerlukan tingkat keamanan siber yang berbeda-beda. Misalnya, bank nasional pastinya akan memiliki sistem siber yang lebih aman daripada perusahaan retail lokal.

Setelah GDPR disahkan, regulasi itu menjadi pengganti dari peraturan proteksi data yang telah ada di Eropa sejak tahun 1990-an. Menariknya, kebanyakan prinsip GDPR tetap didasarkan pada prinsip dari regulasi lama. Satu-satunya prinsip baru dalam GDPR adalah akuntabilitas.

Prinsip akuntabilitas dimasukkan menjadi bagian dalam GDPR dengan tujuan untuk memastikan bahwa perusahaan memang memenuhi semua ketetapan yang ada dalam GDPR. Contoh sederhana dari pengaplikasikan prinsip akuntabilitas adalah perusahaan harus mendokumentasikan cara mereka bertanggung jawab data pribadi konsumen dan langkah yang mereka ambil untuk memastikan keamanan dari data pelanggan.

Tiongkok dan The Great Firewall

Dalam jurnal berjudul Chinese Internet? History, Practice, and Globalization, dijelaskan bahwa internet mulai populer di Tiongkok pada tahun 1990-an. Ketika itu, teknologi internet yang banyak digunakan oleh masyarakat Tiongkok adalah Bulletin Board Systems dan home pages pribadi. Nantinya, tren home pages pribadi akan berubah menjadi blog. Ke depannya, perlahan tapi pasti, muncul berbagai teknologi baru di internet, seperti chat room, instant messaging, dan microblogs.

Weibo, platform serupa Twitter, dirilis di Tiongkok pada Agustus 2009. Pada awal 2011, platform itu telah memiliki lebih dari 100 juta pengguna terdaftar. Kebanyakan pengguna Weibo menggunakan platform itu untuk mengobrol atau berbagi informasi tentang kehidupan mereka. Namun, platform itu juga digunakan untuk berdiskusi tentang berita terbaru dan politik. Sebagian orang bahkan menggunakan Weibo untuk melakukan mobilisasi massa, baik secara online maupun offline.

Weibo adalah platform microblogging di Tiongkok. | Sumber: Agency China

Salah satu contoh bagaimana Weibo digunakan untuk memobilisasi massa adalah pada April 2011. Ketika itu, para aktivis hak binatang melihat truk yang berisi anjing. Dikabarkan, truk itu menuju ke rumah jagal. Para aktivis lalu menghentikan truk itu di luar kota Beijing dan menawarkan diri untuk membeli anjing-anjing yang hendak dibunuh. Anjing-anjing tersebut lalu dikirim ke tempat penampungan hewan. Saat melakukan semua ini, para aktivis mengunggah foto dan video dari kegiatan mereka di Weibo.

Sama seperti konten di situs atau platform lain, konten di Weibo juga disensor oleh pemerintah. Tweet yang secara langsung mempertanyakan keputusan pemerintah akan dihapus. Dan saat krisis sosial, Weibo bahkan bisa mematikan fitur search. Tujuannya adalah untuk mencegah platform itu digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan massa. Namun, pengguna Weibo bisa mengakali hal ini dengan menggabungkan simbol linguistik dan non-linguistik untuk membahas tentang topik atau kata kunci yang dilarang.

Baik pemerintah maupun perusahaan swasta punya peran penting dalam mengembangkan industri teknologi dan informasi di Tiongkok. Beijing bahkan menganggap sektor IT sebagai salah satu faktor penting dalam modernisasi negara. Karena itu, sektor IT menjadi salah satu prioritas mereka. Di Tiongkok, tanggung jawab untuk membuat dan mengoperasikan berbagai layanan internet, seperti Weibo, diserahkan ke tangan perusahaan swasta. Perusahaan-perusahaan internet ini akan beroperasi dan berkompetisi di industri yang teregulasi. Biasanya, pemerintah akan mendorong perusahaan teknologi untuk fokus ke aspek entertainment dan bukannya politik.

Selain pemerintah dan perusahaan swasta, faktor lain yang mempengaruhi perkembangan internet di Tiongkok adalah kebiasaan para pengguna. Pada era awal kemunculan internet, pemerintah memperkenalkan internet sebagai alat untuk mengakses informasi yang dapat membawa Tiongkok ke era modern. Namun, masyarakat punya persepsi yang berbeda. Bagi para pengguna, internet merupakan dunia baru yang menawarkan kebebasan bagi para pengguna. Alhasil, banyak pengguna yang menjadikan internet sebagai tempat untuk mengekspresikan diri, menjalin hubungan sosial, dan juga berpartisipasi dalam politik.

The Great Firewall membatasi akses informasi dari luar Tiongkok. | Sumber: CNN Business

Satu hal yang pasti, sejak 1990-an, pemerintah Tiongkok sudah membangun sistem untuk mengendalikan dan memonitor internet. Dengan begitu, mereka bisa memfilter atau bahkan memblokir informasi dari luar Tiongkok. Tak hanya itu, sistem tersebut juga bisa digunakan untuk menyensor informasi yang beredar dalam negeri. Sistem penyensoran inilah yang membuat internet Tiongkok dikenal dengan The Great Firewall of China.

The Great Firewall layaknya sekat virtual, membatasi internet yang bisa diakses oleh warga Tiongkok dengan internet yang bisa diakses oleh netizen dari negara-negara lain. Menggunakan software dan sumber daya manusia, Great Firewall akan memfilter dan memblokir situs dan kata kunci tertentu. Keputusan untuk menyensor informasi di internet ini mencerminkan kekhawatiran pemerintah Tiongkok akan aliran informasi yang bebas tidak terkendali.

Tampaknya, pemerintah Tiongkok percaya, internet bisa menciptakan gerakan revolusioner. Alhasil, penyensoran internet menjadi bagian penting dari strategi nasional untuk mempertahankan stabilitas negara.

Perkembangan Internet di India

Pada 1986, India mulai mengenal internet melalui Educational Research Network (ERNET), proyek gabungan antara Department of Electronics (DOE) dan United Nations Development Program (UNDP). Ketika itu, ERNET hanya bisa digunakan oleh organisasi sains dan edukasi. Internet baru bisa diakses oleh warga India pada Agustus 1995, berkat Videsh Sanchar Nigam Ltd. (VSNL) -- yang kemudian dikenal dengan nama Tata Communications Ltd.

Strategi broadband diperkenalkan oleh pemerintah India pada 2004. Saat itu, broadband didefinisikan sebagai "akses internet yang selalu aktif dengan kecepatan download sebesar setidaknya 256 kbit/s". Pada Juli 2013, definisi broadband diubah menjadi "koneksi data yang menyediakan layanan interaktif, khususnya akses internet, dan memberikan kecepatan download setidaknya 256 kbps." Satu tahun kemudian, pada Agustus 2014, kecepatan minimal broadband dinaikkan menjadi 512 kbit/s.

India sempat mengalami masalah dengan broadband. | Sumber: Gadget360

Di Oktober 2016, Telecom Regulatory Authority of India (TRAI) mengeluarkan regulasi internet baru. Regulasi itu mengharuskan penyedia layanan fixed broadband untuk menjamin bahwa minimal kecepatan download dari jaringan mereka tidak akan turun dari 512 kbit/s, bahkan jika para pengguna telah melewati kuota yang ditetapkan.

Menurut Selectra, salah satu masalah terkait internet yang dihadapi oleh India adalah kapasitas layanan broadband yang ada di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan negara lain. Per 2007, standar kecepatan download di India mencapai 256 kbit/s. Padahal, di dunia, kecepatan rata-rata broadband mencapai 5,6 Mbit/s.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah menjadikan 2007 sebagai "Tahun Broadband". Agar internet di India bisa mengikut standar global, pemerintah India mencoba untuk membuat 690 miliar infrastruktur broadband yang bisa menghubungkan semua kota dan desa dengan jumlah penduduk lebih dari 500 orang. Program itu akan terbagi ke dalam dua tahap: tahap pertama akan selesai pada 2012 dan tahap kedua di 2013.

Seiring dengan membaiknya infrastruktur internet, jumlah netizen di India pun bertambah. Dan pemerintah pun mulai tertarik untuk membuat regulasi internet. Pada Februari 2021, pemerintah India memperkenalkan peraturan baru untuk perusahaan media sosial, platform streaming, dan media digital. Peraturan tersebut dibuat dengan tujuan untuk memudahkan pemerintah dalam meminta media sosial, khususnya yang memiliki jumlah pengguna lebih dari lima juta orang, untuk menghapus konten yang dianggap melanggar peraturan.

Di bawah peraturan baru tersebut, semua orang berhak untuk melaporkan konten yang dianggap bermasalah dan meminta perusahaan untuk menghapus konten tersebut dari platform mereka. Tak hanya itu, jika kementerian menetapkan sebuah konten sebagai konten ilegal atau bermasalah, konten tersebut harus dihapus dalam waktu 36 jam. Jika tidak, perusahaan akan dikenakan hukum kriminal.

India juga menyensor internet dalam negeri. | Sumber: BBC

Melalui regulasi internet baru, pemerintah India juga mengharuskan perusahaan teknologi untuk mempekerjakan staf yang bertugas menjawab protes dari para pengguna, menjawab permintaan dari pemerintah, dan memastikan perusahaan telah mematuhi semua peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sama seperti di Indonesia, sebagian orang, khususnya kritikus hukum, khawatir bahwa peraturan baru dari pemerintah India ini akan menjadi awal dari penyensoran atas internet, yang membatasi kebebasan masyarakat di dunia maya.

"Tampaknya, pemerintah India juga berencana untuk membuat ekosistem internet yang tertutup, seperti Tiongkok," kata Raheel Khursheed, Co-Founder dari Laminar Global dan mantan Head of Politics, Policy, and Government di India, kepada Al Jazeera.

Perusahaan vs Negara

Amazon dan Microsoft memiliki markas di Luksemburg. Padahal, negara itu merupakan bagian dari Uni Eropa, yang memiliki regulasi privasi paling ketat, yaitu GDPR. Denda yang dikenakan pada Amazon bahkan merupakan denda GDPR paling besar. Meskipun begitu, kedua perusahaan itu tampaknya tidak berencana untuk angkat kaki dari Luksemburg.

Kenapa? Karena Luksemburg merupakan negara yang memiliki peraturan pajak yang sangat ramah pada perusahaan multinasional. Alhasil, negara itu pun dikenal sebagai tax haven. Mengingat tujuan utama perusahaan adalah untuk mencari laba, tidak heran jika perusahaan-perusahaan besar seperti Microsoft atau Amazon tidak keberatan untuk membuat markas di Luksemburg, demi mendapatkan pajak yang ringan.

Dari contoh kasus ini, bisa disimpulkan bahwa perusahaan multinasional sekali pun akan mengikuti regulasi dari sebuah negara atau kawasan jika negara atau kawasan tersebut menawarkan keuntungan lain bagi perusahaan. Contoh lainnya, Tiongkok memiliki regulasi internet dan game yang ketat. Untuk meluncurkan game di negara itu, perusahaan game harus bekerja sama dengan perusahaan lokal dan memastikan game yang mereka buat sudah mendapatkan izin dari Beijing.

Namun, hal itu tidak menghentikan perusahaan-perusahaan game internasional untuk mencoba masuk ke pasar Tiongkok dan meluncurkan game-game mereka di negara tersebut. Alasannya sederhana: karena Tiongkok merupakan pasar game terbesar, baik dari segi jumlah gamers, maupun dari segi pemasukan di industri game.

Tak hanya untuk perusahaan game, Tiongkok juga merupakan destinasi menarik untuk perusahaan-perusahaan multinasional. Buktinya, banyak perusahaan Amerika Serikat yang memindahkan pabrik atau proses manufaktur mereka ke Tiongkok. Pasalnya, Tiongkok memiliki pekerja yang terlatih, tapi gaji yang lebih rendah dari pekerja di Amerika Serikat.

Namun, satu hal yang menarik, belakangan, semakin banyak perusahaan besar yang mulai mempertimbangkan untuk memindahkan operasi manufaktur mereka ke negara lain. Mereka menyebutkan, alasan mereka melakukan hal itu karena bisnis di Tiongkok telah semakin dipolitisasi.

Tony Danker, Director-General of the Confederation of British Industry mengatakan, di 2019, perusahaan-perusahaan Eropa masih menunjukkan komitmen untuk beropeasi di pasar Tiongkok. Namun, sekarang, kebanyakan perusahaan tersebut justru mulai berubah pikiran. Mereka mempertimbangkan untuk memindahkan perusahaan jaringan suplai mereka dari Tiongkok. Menurut Danker, para perusahaan mulai mempertimbangkan hal tersebut karena politikus di Eropa tampaknya tidak ingin melibatkan diri dengan politik di Tiongkok.

Alasan lain mengapa perusahaan multinasional mulai meninggalkan Tiongkok adalah karena keadaan yang tidak pasti. "Satu-satunya hal yang pasti tentang pasar Tiongkok sekarang adalah ketidakpastiannya. Dan hal ini tidak baik untuk para pebisnis," kata Bettina Schoen-Behanzin, Vice President of the European Chamber, dikutip dari Foreign Policy. Hal ini menjadi bukti bahwa tidak peduli seberapa besar pasar sebuah negara, regulasi yang tidak pasti bisa membuat perusahaan asing angkat kaki dari sana.

Penutup

Indonesia, India, dan Tiongkok memiliki regulasi internet yang cukup mirip. Ketiga negara tersebut cenderung lebih bersedia untuk memblokir konten di internet jika ia dianggap tidak sesuai dengan peraturan. Salah satu kesamaan dari tiga negara tersebut adalah ketiganya merupakan negara dengan jumlah penduduk yang besar.

Menurut Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, alasan lain mengapa Indonesia, India, dan Tiongkok memiliki regulasi internet yang cenderung sama adalah karena ketiganya memiliki keinginan kuat untuk mengembangkan industri teknologi lokal dan mengurangi pengaruh asing di dalam negeri.

Dalam email, Darang berkata, "Regulasi yang ketat terkait industri game dapat dilihat sebagai pengejawantahan keinginan pemerintah ketiga negara untuk mengembangkan industri game lokal meski cara penerapan dan efektivitas kebijakan tersebut patut dikaji lebih lanjut."

Jumlah penduduk yang banyak memang jadi salah satu daya tarik dari Indonesia, India, dan Tiongkok. Meskipun begitu, ketika pemerintah Tiongkok menetapkan peraturan yang sangat ketat, pada akhirnya, hal ini juga membuat perusahaan-perusahaan asing pergi. Hal ini menunjukkan, pada akhirnya, keputusan perusahaan untuk tetap beroperasi di sebuah negara akan ditetapkan pada keuntungan yang didapatkan perusahaan di negara tersebut. Dan apakah keuntungan itu memang cukup menggiurkan, menjadi insentif bagi perusahaan untuk patuh pada peraturan yang ditetapkan oleh negara tersebut.

Sumber header: SAFE net